Sudah beberapa hari dalam suasana yang menegangkan akibat letusan Gunung Merapi, para pengungsi selalu berharap agar kondisi segera pulih. Mereka pergi meninggalkan segala yang dimilikinya baik rumah, tanah, ternak, juga kegembiraan, kenyamanan, dan lain sebagainya yang telah menjadi bagian dalam hidup mereka. Hati terasa gundah dan gulana menghadapi situasi yang tidak menyenangkan ini.

Sebanyak 170 pengungsi dari Lereng Merapi mengungsi di Postulat-Novisiat CB yang terletak di Jalan Affandi CT X/26, Santren, Jogja, pada Jumat (5/11) dini hari. Dari Girikerto dan Glondong, Purwobinangun, Pakem, mereka harus meninggalkan rumahnya menuju Jogja untuk mencari tempat aman. Para suster, Novis, dan Postulan segera menyediakan tempat bagi para pengungsi yang tengah ketakutan. Mereka diterima di Ruang Kapernaum dan Ruang Tamu Postulat, kemudian di ruang belajar dan ruang tamu Novisiat. Dengan beralas tikar, mereka menempati rumah sementara tempat berteduh. Kemudian para suster segera mencari bantuan beberapa kasur dan bantal untuk mereka.

Bagi kita yang terbiasa untuk melakukan sesuatu/bekerja, tentunya akan sangat membosankan bila sepanjang hari dilalui dengan hanya berdiam diri tanpa kegiatan apa pun. Badan terasa kaku dan pikiran kosong. Begitu pula halnya dengan saudara-saudara yang ada di tempat pengungsian.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Sr. Mariati CB dan Sr. Hetty CB pun tanggap dengan kebutuhan para pengungsi. Untuk makan sehari-hari tentunya mereka sudah berkecukupan. Namun, apa salahnya bila dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, para pengungsi pun turut dilibatkan? Misalnya dengan memasak, membersihkan perlengkapan makan dan minum, membersihkan tempat mereka tidur, dan sebagainya. Dengan demikian mereka dibantu untuk tidak “nglangut” karena ada kegiatan bersama dari mereka dan untuk mereka.

Lain daripada itu, satu hal yang membuat para pengungsi berani bangkit dari suasana yang memprihatinkan, para suster mengajari mereka untuk membuat berbagi minuman instan. Para postulan dan novis dengan gembira melatih mereka membuat minuman instan seperti jahe, kunir-asem, temulawak, kencur-sunthi, dan sebagainya. Dari menumbuk dan memarut bahan-bahan lalu memasaknya. Kemudian minuman yang berupa bubuk tersebut dikemas dalam kantung-kantung plastik yang mungil, sehingga siap saji dan kapan saja bisa dikonsumsi.

Hasil karya mereka akhirnya bisa dipasarkan dan dinikmati oleh banyak orang. Minuman instan kemasan tersebut diberi label “Hasil Karya Ibu-ibu Girikerto dan Glondong, Pengungsi di Postulat-Novisiat CB”. Hingga kini hasil karya mereka sudah merambah di berbagai kota seperti Jogja, Magelang, Bandung, Jakarta, dan di beberapa kota lainnya.

Demikianlah, meskipun di tempat pengungsian yang terasa asing namun bila mau membuka mata dan hati, apa pun bisa dilakukan. Selain para suster yang bahagia karena bisa membantu mereka yang berkesesakan, para pengungsi pun diberi bekal keterampilan. Jadi, bila mereka kembali ke rumah dan mendapati lahan pertanian dan usaha mereka belum bisa ditangani, ada satu alternatif lain yaitu membuat jamu-jamuan atau minuman instan. Inilah salah satu bentuk berbagi dari para suster bagi saudara-saudara yang membutuhkan bantuan.

Tetap Berkarya Meskipun di Pengungsian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_ID