Kisah berdirinya Kongregasi kami berjalan sesuai dengan kisah pertumbuhan panggilan dan spiritualitas pendiri kami, Elisabeth Gruyters. Beliau lahir dan dibabtis pada tanggal 1 November 1789 di desa Leut, Belgia. Meskipun Bunda Elisabeth tinggal di lingkungan yang berbahaya dan anti Katholik tetapi beliau mempunyai kedekatan relasi dengan Tuhan.

Pada tahun 1821, Bunda Elisabeth berangkat ke Maastricht. Di Maastricht dampak Revolusi Perancis terlihat sangat jelas. Biara-biara ditutup, gereja digunakan untuk kepentingan militer. Pada umumnya penduduk menderita kemiskinan karena penjarahan yang mengerikan.

Pada tahun 1821, Bunda Elisabeth bekerja pertama kali sebagai pengurus rumah tangga bagi keluarga Baron de Roos Waldeck, kemudian setelah itu bagi keluarga Nijpels yang kaya.

Beberapa tahun setelah ia tinggal di Maastricht, gereja-gereja meskipun rusak parah dibuka kembali untuk menampung umat beriman yang datang untuk berdoa dan memuji Tuhan. Bunda Elisabeth adalah salah satu umat yang sering berkunjung ke Gereja St. Servatius, St. Mathias dan St. Nicolas, di mana patung Maria Bintang Samudra ditahtakan.

Setiap Minggu sore, pada waktu luang, Bunda Elisabeth mengunjungi orang miskin dan sakit di Calvarienberg untuk berdoa Rosario bersama mereka. Duka dan penderitaan mereka selalu memenuhi pikirannya, bahkan ketika Bunda Elisabeth sudah kembali ke pekerjaannya. Seperti yang beliau tulis sendiri dalam kisah panggilannya, sambil mencucurkan air mata Bunda Elisabeth memanjatkan doa agar dapat berkarya bagi para penderita di Calvarienberg.

Meskipun Bunda Elisabeth bekerja sebagai pengurus rumah tangga bagi keluarga Nijpels tapi beliau memainkan peranan yang penting dalam kehidupan mereka. Selama tujuh tahun Bunda Elisabeth merawat istri tuan Nijpels yang lumpuh. Menjelang ajalnya, beliau berhasil meyakinkannya untuk melakukan pengakuan dosa umum dan menerima Sakramen Orang Sakit yang cukup luar biasa pada saat itu, karena selama bertahun-tahun keluarga ini menutup diri mereka dari Allah dan Gereja. Bunda Elisabeth juga banyak menghabiskan waktu untuk berdoa dan mencucurkan air mata demi pertobatan tuan Nijpels. Setelah sepuluh tahun barulah tuan Nijpels bertobat.

Setelah menjalani kehidupan di Maastricht selama bertahun-tahun, Bunda Elisabeth semakin yakin bahwa kota ini membutuhkan sebuah biara, sebuah biara yang akan melayani orang miskin dan tertindas, sekelompok religius yang akan mengabdi Tuhan dengan tulus dan sempurna. Baginya sama saja kongregasi mana ataupun peraturan mana yang akan diikuti asalkan Tuhan dilayani dalam diri umat-Nya, seperti orang-orang sakit di Calvarienberg. Anak-anak bekerja di pabrik dan mereka hidup di jalanan. Beliau mempunyai keinginan yang besar sekali untuk mengambil bagian di sana, tetapi usianya sudah tidak memungkinkan. Namun Bunda Elisabeth tidak kehilangan harapan.

Seiring perjalanan waktu, cintanya pada Tuhan tumbuh semakin dalam. Bunda Elisabeth sering menulis dalam bukunya bahwa beliau tidak dapat menemukan kata-kata yang cukup untuk menggambarkan secara jelas bagaimana ia mengalami kehadiran dan kebaikan Allah yang tak terhingga. Suatu kali ketika beliau berdoa di depan salib, hatinya bernyala-nyala karena kasihnya kepada Tuhan, dia tergagap-gagap mendoakan kata-kata ini:

O Pencinta hatiku yang manis, berilah aku bagian dalam duka-Mu. Semoga hatiku bernyala nyala karena cinta. Buatlah aku cakap dalam pengabdian-Mu, tetapi tidaklah bermanfaat bagiku saja, pun juga bagi keselamatan sesama manusia.

Sejak saat itu Bunda Elisabeth mendoakannya setiap hari yang kemudian menjadi doa seluruh Kongregasi.

Pada Hari Raya Maria Diangkat ke Surga, Bunda Elisabeth menghadiri misa di Gereja St. Nicolas. Selama Misa kerinduannya yang sangat hebat menyemangati hatinya, sehingga beliau tidak mendengar atau melihat apapun dari perayaan yang agung itu. Kemudian Bunda Elisabeth berlutut di depan patung Maria Bintang Samodra yang keramat itu dan berdoa. Dalam doanya Bunda Elisabeth tidak lagi memohon agar diterima dalam sebuah biara. Sebaliknya beliau berdoa agar di Maastricht didirikan sebuah biara di mana Tuhan akan diabdi dengan setia. Dalam keadaan ini imannya semakin teguh, cinta kasih yang bernyala-nyala disertai cucuran air mata memberinya ketenangan hati. Tiba-tiba terdengar olehnya persetujuan yang suci dari Surga dan kata persetujuan itu tidak lain daripada ini: “Itu akan terjadi”

Desember pada tahun yang sama, Bunda Elisabeth pergi ke Gereja St. Matthias untuk pengakuan dosa dengan Pastor Maijel. Akhirnya beliau terinspirasi untuk pergi dan menawarkan diri untuk bergabung dengan biara yang baru didirikan di jalan Lenculen. Setelah pengakuan dosa, Bunda Elisabeth menyampaikan rencana tersebut kepada bapa pengakuannya, tapi Beliau tidak memberinya harapan. Beliau menjelaskan bahwa usianya sudah lanjut, Bunda Elisabeth tidak mempunyai bakat dan uang yang cukup. Terlebih pasti ada banyak orang, selain dirinya yang akan mengajukan permohonan untuk diterima.

Sesudah delapan hari, Bunda Elisabeth mendapat keberanian untuk memperkenalkan diri kepada Pastor Van Baer. Dengan hati berdebar, Bunda Elisabeth mengikuti Pastor van Baer menuju Sakristi setelah beliau memimpin Ekaristi. Beliau memperkenalkan diri dan memberitahukan keinginannya agar dapat diterima dalam biara yang baru didirikan sebagai suster karya rumah tangga. Tapi beliau mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antarsuster itu. Mereka semua akan bekerja sama sebagai Suster Cintakasih. Lalu beliau menerimanya sebagai Suster CIntakasih St. Vincentius a Paulo. Beliau mengatakan kepadanya dengan penuh kepercayaan bahwa diantara mereka yang mendaftar, dialah perempuan pertama yang membuat beliau berani untuk memulai sebuah biara.

Pada tanggal 29 April 1837, pesta St. Petrus, martir, Tuhan memberi Bunda Elisabeth dan Suster Maria keberanian dan kekuatan untuk mengawali karya mereka. Mereka menerima berbagai komentar dari masyarakat, bahwa mereka miskin dan kota Maastricht telah menjadi kota tertutup selama enam tahun. Namun demikian dengan penuh iman dan harapan, mereka mulai membersihkan rumah sewaan di jalan Lenculen. Mereka serba kekurangan dalam banyak hal, bahkan mereka tidak memiliki kursi untuk duduk. Mereka juga tidak memiliki pemanas untuk menghangatkan rumah mereka yang kecil.

Pastor van Baer mengirim dua suster dari Den Bosch. Nama mereka Sr. Theresia dan Sr. Francisca. Kedua suster itu mengajarkan kepada Bunda Elisabeth dan Suster Maria bagaimana menjadi seorang religious dan membantu dalam karya mereka yang baru.

Pada bulan Mei 1837 mereka mulai menerima anak-anak miskin, di koridor gereja St. Servatius. Mereka mengajarkan katekese, menjahit dan mendidik bagaimana berdoa dan mencintai Allah. Allah yang Mahabaik memberkati upaya mereka. Jumlah anak-anak yang datang meningkat setiap hari. Dengan banyaknya pekerjaan, suster-suster ini membutuhkan lebih banyak bantuan tenaga.

Pada tanggal 5 Oktober tahun yang sama, para suster mendapat tambahan bantuan saat Suster Anna masuk biara. Kedatangan Suster Anna sangat menggembirakan mereka. Tapi pada tanggal 10 Oktober 1837, dua suster dari Den Bosch diminta segera kembali ke komunitas mereka. Mereka menerima kabar bahwa pimpinan biara mereka sakit keras. Bunda Elisabeth berpikir hal itu menjadi akhir dari biara mereka. Ia merasa bahwa mereka bagaikan tiga ekor ikan di luar air, tanpa bantuan dan dukungan.

Kadang orang datang ke komunitas mereka hanya untuk menggoncangkan hati mereka. Akan tetapi mereka terus menaruh kepercayaan dan keyakinan kepada Penyelenggaraan Ilahi.

Pada tanggal 1 Maret 1839, Suster Coleta mulai berkarya di Panti Asuhan Katolik. Beberapa tahun kemudian juga datang lebih banyak suster untuk berkarya di sana. Pada awalnya sangat sulit bagi mereka untuk memulai karya. Mereka dihasut agar tidak taat kepada para suster. Situasi ini berlangsung lebih dari 16 tahun. Bunda Elisabeth selalu membesarkan hati para suster untuk sabar serta selalu memandang Yesus yang menderita.

Pada tahun 1857, Pastor Schijven, pastor paroki dan deken gereja St. Servatius yang baru melihat dengan cermat semangat serta niat baik para suster. Akhirnya diputuskan para suster akan melaksanakan tanggung jawab memelihara kesejahteraan para yatim piatu, baik jawmani maupun rohani.

Kerinduan Bunda Elisabeth untuk melayani orang-orang sakit di Calvarienberg selalu menjadi keprihatinannya. Maka dengan meningkatnya jumlah suster ia menjadi lebih berani lagi menawarkan pelayanan mereka di situ. Tapi Dewan Pengurus benar-benar menentang gagasan itu. Bahkan salah satu anggota Dewan Pengurus bersumpah selama dia masih duduk dalam dewan, mereka tidak akan pernah diterima. Lebih lanjut dia berkomentar bahwa pakaian religius mereka sudah lebih dari cukup untuk menyebabkan orang jatuh sakit. Tidak lama kemudian, ketika orang itu meninggal, Bunda Elisabeth mencoba lagi. Pastor Komisaris dari lembaga ini juga mendesak Dewan Pengurus untuk menerima para suster.  Berdasarkan pengalaman Bunda Elisabeth mengetahui suasana diantara orang-orang sakit dan mereka yang mendekati ajal itu dipenuhi dengan sikap antipati, iri hati, benci dan saling menyalahkan. Meskipun Dewan Pengurus masih enggan menerima tetapi mereka juga didesak oleh masyarakat untuk menerima pelayanan dari para suster.

Maka pada tanggal 1 Agustus 1843, lima suster mulai berkarya di Calvarienberg. Para suster yang baik ini merasa puas karena mereka dapat merawat para pasien yang miskin itu. Lambat laun Dewan Pengurus mulai menghargai usaha para suster bahkan mereka minta tambahan suster. Dan seiring dengan kemajuan di Calvarienberg, banyak suster diutus untuk berkarya di sana.

Pada 1840, Kongregasi pindah dari rumah sewaan di jalan Lenculen ke rumah yang baru dibeli di Vrijthof. Namun untuk mengakomodasi jumlah suster yang terus meningkat, dibeli sebuah rumah di belakang gereja St. Servatius pada tahun 1844. Rumah itu dulunya bagian dari gereja yang dibangun sekitar abad ke 12. Rumah ini terhubungkan dengan sebuah lengkungan yang dibangun sebagai jalan bagi para imam dan para pemimpin gereja lainnya. Karenanya lengkungan itu yang menghubungkan Gereja dan rumah yang baru ditempati para suster cukup dikenal oleh masyarakat. Sejak saat itu para Suster Cintakasih dikenal di Belanda sebagai “zesters onder de bogen” atau “suster-suster di bawah lengkungan”. Lengkungan juga member makna simbolik bagi para suster: menjadi penghubung antara Gereja dan dunia. Sebuah Kongregasi yang menjembatani Allah dan umat manusia.

Sampai saat ini para suster dikenal sebagai Suster-suster Cintakasih St. Carolus Borromeus dari Maastricht. St. Carolus Borromeus adalah Uskup Agung Milan pada abad ke-16. Dia tidak hanya dikenal karena semangatnya dalam melaksanakan keputusan-keputusan Konsili Trente, tetapi juga karena karya amal kasih yang ia lakukan. Saat wabah penyakit melanda Milan pada tahun 1576, ia merawat para pasien. Dia selalu mengantar Sakramen Maha Kudus bagi mereka. Spritualitas dan cita-citanya dalam menghayati Injil telah menginspirasi para suster untuk melanjutkan karya cinta kasih mereka.

Dalam Peraturan dan Statuta yang baru disetujui , tujuan Kongregasi secara jelas dirumuskan “Hendaklah kamu mencintai Tuhan Allahmu dengan seutuh hati, dengan seutuh jiwa dan dengan seluruh tenaga, serta cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri demi Tuhan. Tujuan Kongregasi ini ialah berdaya upaya dengna segenap hati agar Tuhan dimuliakan dengna menguduskan diri serta melaksanakan berbagai karya bakti untuk membantu sesama yang mengalami kesesakan hidup dan yang berkekurangan.

Pada tanggal 26 Juni 1864, Bunda Elisabeth akhirnya bertemu dengan Sang Kekasih dan Pengasihnya. Ia wafat dalam usia 74 tahun dan dimakamkan di pemakaman Gereja Santo Petrus dan Paulus di Wolder. Jumlah anggota Kongregasi pada saat beliau wafat ada 54 suster, tidak termasuk mereka yang sudah meninggal sebelum wafatnya.

id_ID