Satu-satunya pohon dengan ‘3 musim’ di kebun biara St. Anna – Yogyakarta

Sore itu, aku duduk di teras kamar makan St. Anna, ‘menyruput’ whitekoffie-ku yang masih hangat, sambil menikmati kicauan burung-burung yang beterbangan kembali ke sarangnya.

Kutatap pohon yang berdiri tegak di dekat kolam, di tengah kebun. Beberapa hari yang lalu daun-daunnya  berguguran, menyisakan batang dan ranting yang nyaris gundul. Tapi sekarang tunas-tunas baru mulai bermunculan dan aku tahu 1 atau 2 minggu lagi pohon itu akan kembali hijau menyejukkan.

Satu-satunya pohon dengan ‘3 musim’ di kebun biara St. Anna – Yogyakarta

Pemandangan ini mengingatkan aku akan musim semi, saat aku tinggal di Maastricht.  Waktu mengalami musim semi untuk pertamakalinya, aku terkagum-kagum menyaksikan perubahan alam yang begitu kentara. Pergantian musim sungguh merupakan sesuatu yang baru bagiku: sangat asing, namun amat mengagumkan.

Lewat pergantian musim ini, aku bisa melihat juga proses yang terjadi dalam pengalaman hidup kita: ada saat-saat di mana kita mengalami diri tumbuh dan berkembang, saat dimana kita harus berani ‘mati’, melepaskan sesuatu dan saat di mana kita merasa dilahirkan kembali, menemukan hidup baru.

 

 

 

 

 

 

Di musim semi pohon-pohon yang gundul mulai bertunas lagi dan dari dahan-dahan kering yang seolah-olah mati, muncullah daun-daun muda yang hijau segar. Bunga-bunga aneka warna juga mulai bermunculan di sela-sela rerumputan hijau. Warna-warni yang begitu kontras menciptakan panorama musim semi yang amat indah.

Selain langit yang makin biru dan matahari yang makin bersinar cerah, ada satu hal lagi yang menyemarakkan musim semi. Kalau aku bangun di pagi hari, langsung kudengar kicauan burung yang amat meriah. Sangat  berbeda dengan musim dingin yang beku, di mana pagi hari begitu gelap dan sunyi.

 

Sungguh benar, musim semi membuat alam hidup kembali:

  • tunas-tunas muda yang bersemi menandai kehidupan baru pada pohon- pohon ;
  • burung-burung yang bersiul riang memecah kesunyian pagi;
  • bunga-bunga yang berkembang membawa kesegaran baru.

 

Saat mengalami musim semi di Maastricht itulah,  aku mulai memahami, mengapa Hari Raya Paskah selalu jatuh dalam musim semi; pada hari Minggu pertama sesudah bulan purnama pertama musim semi.

 

Sebagaimana musim semi menghidupkan alam kembali, demikian pula:

Kristus yang bangkit membawa kehidupan baru bagi kita.

 

Bagi para wanita yang bergegas ke makam (Markus 16, 1 – 8), Minggu pagi itu adalah kelanjutan dari hari Jum’at tragis yang menyedihkan dan hari Sabtu sunyi yang mencekam hati; mereka berharap masih bisa merawat jenasah Yesus yang dimakamkan secara amat tergesa-gesa 3 hari sebelumnya.

 

Namun tidaklah demikian bagi kita.

 

Sesungguhnyalah, Paskah bukanlah kelanjutan masa lalu.

Paskah adalah awal penciptaan baru,

perjumpaan dengan Allah yang hidup

 

Seraya membuka hati bagi perjumpaan

dengan Allah yang hidup ini,

marilah kita saling menyampaikan:

 

Selamat Hari Raya Paskah

 

Teriring salam kasih,

 

Vincenza

 

Biara St. Anna, Yogyakarta

Paskah 2022

 

P A S K A H dan Musim Semi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_ID