Seperti yang telah kita dengar dan lihat baik secara langsung maupun melalui media masa, telah beberapa hari, sejak Selasa (26/10) pukul 17.02 WIB lalu, Gunung Merapi sedang tidak bersahabat. Awalnya, masyarakat yang tinggal di Lereng Merapi tidak menampakkan wajah-wajah cemas. Mereka yakin bahwa Merapi akan bergolak seperti biasanya sama ketika meletus di tahun 1997, 2001, dan 2006 yang lalu.

Barak-barak pengungsian pun sudah siap menampung para pengungsi. Zona aman dari Lereng Merapi berjarak 10 km seperti biasanya. Namun, pada Sabtu (30/10) dini hari pukul 00.50 WIB terjadi letusan yang sangat besar, zona aman diperluas hingga radius 15 km. Hujan pasir dan abu pekat mengelilingi DIY, Kab. Magelang, Boyolali, dan Kab. Klaten. Masyarakat mengira bahwa itulah letusan terdahsyat yang pernah terjadi. Ternyata, tidak demikian dengan Merapi. Ia masih tetap menunjukkan keperkasaannya kembali pada Jumat (5/11) pukul 00.00 WIB ketika suara gemuruh terdengar begitu keras hingga menyemburkan isi perutnya ke atas sejauh 4 sampai 4,5 km. Sungguh, inilah letusan terdahsyat yang pernah dirasakan oleh masyarakat di Lereng Merapi. Akhirnya zona aman mencapai radius 20 km.

Bisa dibayangkan, bagaimana situasi saat itu. Hujan kerikil, pasir, dan abu sangat deras. Semua pengungsi di barak-barak pengungsian yang selama ini dianggap aman bergegas meninggalkan barak dengan keadaan panik. Daerah Pakem, Muntilan, Kab. Magelang dan barak-barak pengungsi lainnya harus segera dikosongkan. Seketika listrik pun padam. Bahkan Pakem yang selama ini relatif aman seolah-olah menjadi kota mati. Yang tinggal di Lereng Merapi bagian Selatan berbondong-bondong mengungsi turun ke arah Selatan dengan tubuh dilumuri abu vulkanik. Pun mereka yang ada di Kab. Magelang, sebelah Barat Merapi mengungsi. Jalanan menjadi padat dan kacau. Jerit tangis terdengar begitu nyata diiringi suara sirene tanda bahaya yang terus meraung-raung menambah situasi semakin mencekam.

Pukul 01.30 WIB, kami yang tinggal di kompleks Jalan Kolombo dan Panti Rapih kedatangan tamu yaitu para pengungsi dari Lereng Merapi. Awalnya mereka berlari ke RS. Panti Rapih (RSPR). Setelah dipertimbangkan lebih lanjut, yang tinggal di RSPR hanya yang sakit. Selain itu pasien yang ada di RS. Panti Nugroho pun dipindahkan ke RSPR. Sedangkan bagi yang sehat diarahkan ke Jalan Kolombo 19A. Para suster dengan cekatan menyiapkan tempat beserta tikar dan karpet untuk para pengungsi. Mereka diterima di ruang tamu besar lantai 1, selain itu di aula dan ruang sidang PMB yang terletak di lantai 2 pun penuh dengan pengungsi.

Para suster muda yang tinggal di Jogja dan Ganjuran, dikoordinir oleh Sr. Krispiani, dengan kesungguhan hati menerima dan melayani para pengungsi. Ada yang menerima dan mendata pengungsi, P3K, logistik, jaga malam, dan lain-lain. Syukurlah, bantuan dari berbagai pihak seperti logistik mulai berdatangan. Pun relawan dari warga asrama SMA Stella Duce 1 (Samirono dan Supadi) dan Syantikara berdatangan membantu untuk melayani para pengungsi. Tanpa kenal lelah mereka berbagi hati dan apa pun yang mereka miliki untuk saudara-saudara yang menderita tersebut.

Hingga berita ini ditulis, Sabtu (6/11) sudah tercatat 372 pengungsi yang diterima. Sedangkan para suster secara bergantian melayani para pengungsi ini tanpa membeda-bedakan status, agama, dan sebagainya. Satu hal yang menyemangati mereka yaitu warisan rohani dari Elisabeth Gruyters, pendiri Kongregasi CB, yakni keselamatan sesama sangat dipentingkan. Inilah salah satu bentuk belarasa puteri-puteri Elisabeth Gruyters terhadap situasi saat ini, khususnya yang berada di DIY dan sekitarnya akibat ancaman Merapi.

Duka Mereka Pun Duka Kita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_ID