Sebagai seorang suster yang baru saja mengikrarkan kaul pertama dan ditugaskan di komunitas karya yang baru, adalah hal lumrah bila seringkali dilanda rasa bingung. Sekurang-kurangnya itulah yang kualami ketika menginjakkan kaki di komunitas baru. Berbekal kesiapsediaan menerima tugas perutusan yang baru dan semangat untuk mengenal lebih dalam hidup bersama di Kongregasi CB, aku belajar untuk menerima tugas dengan terbuka.
Suatu ketika, aku dilibatkan dalam kepanitiaan Natal-Paskah di Kapel Bintang Samudra. Kusambut tugas itu dengan senang hati. Aku diberi kesempatan untuk belajar sebagai tim kerja Liturgi pada kepanitiaan tersebut. Berbagai persiapan dibuat jauh-jauh hari untuk memperlancar perayaan tersebut. Namun, toh sekalipun sudah dipersiapkan, tentu kalau ada kekuranganpun itu biasa.
Suatu ketika pada saat hari H, mungkin aku diserang kepanikan menghadapi banyak orang dan tugas-tugas sebagai tim kerja, aku menjadi sulit berkonsentrasi. Aku belajar membagi perhatian antara petugas-petugas liturgi dengan persiapan yang lain.
Saat itu, salah seorang frater mendekati saya dan bertanya, “Suster, punya Supermi?”
Tanpa banyak pikir dan bertanya, kujawab, “Oh, ada frater. Tunggu sebentar ya, saya ambilkan.”
Dengan kecepatan langkah seribu, aku berlari menuju ke dapur dan meminta kepada salah satu mbak, “Mbak, aku minta supermi donk!”
Dengan terheran-heran, mbak dapur bertanya, “Supermi, Suster? Matang?”
Jawabku, “Enggak, mentah Mbak!”
Sahutnya, “Lah, buat apa Suster?”
“Gak tau tu. Frater yang minta. Mungkin untuk bahan homili. Minta tolong cepetan diambilin donk, Mbak! Udah mepet ni waktunya.”
Segera, setelah aku mendesaknya untuk mengambil apa yang aku minta, mbak dapur itu datang dengan membawa sekardus supermi.
Katanya, “Mau berapa, Suster?”
Jawabku, “Kubawa semua aja! Gak tau aku berapa yang dibutuhkan Frater. Nanti kalau sisa, akan kukembalikan. Makasih ya Mbak.”
“Kembali kasih, Suster. Gak usah lari” jawabnya.
Dengan memeluk sekardus supermi, aku berlari menuju sakristi melewati pintu belakang karena Misa akan dimulai. Dengan bercucuran keringat, kutemui Frater yang tadi minta supermi kepadaku.
“Ini Frater, superminya” kataku.
Namun apa yang terjadi? Frater tersebut tak dapat menahan tawanya. Dengan terbahak-bahak sambil menepuk dahi, dia berkata, “Susterrrrr…..aku mintanya superpliii…bukan supermi….”
Serasa waktu berjalan lambat. Untuk beberapa saat aku dilanda rasa kaget dan malu yang tak tertahankan, yang membuatku hanya bisa terdiam membisu. Segera setelah kesadaranku kembali, dengan menunduk dalam menahan malu aku meminta maaf kepada Frater tersebut karena tidak mendengarkan dengan baik dan berlari untuk mencarikan superpli.
Tuhan, Sang Pencipta Agung, melengkapi manusia dengan indra-indra yang dapat digunakan manusia untuk membantunya dalam bekerja, bertindak, berkata-kata, maupun berinteraksi dengan manusia yang lain. Namun terkadang karena pikiran kita sering disibukkan dengan hal-hal yang tidak perlu, membuat kita sering tidak dapat menangkap pesan yang disampaikan orang lain sehingga terjadi kekacauan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Namun apabila kekacauan itu akhirnya terjadi, maka perlu keberanian dan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan yang diperbuat dan dengan sikap terbuka mau memperbaiki kesalahan itu.*** (Sr. Clarissa CB)
Superpli atau Supermi???