Setelah dibuka sejak tanggal 1 Agustus yang lalu, Shelter Syantikara (SS) telah mulai menerima pasien isoman dengan berbagai kondisi. Walau sebenarnya sejak tanggal 20 Juli yang lalu, setelah diberkati melalui Ibadat sederhana oleh Romo Adrianus Maradiyo Pr, Vikep Jogja Timur, shelter ini sudah menerima para nakes dan karyawan dari mitra karya para Suster CB, dan sebagian besar sudah kembali pulih dan bahkan mulai berkarya.
Para nakes memang diutamakan untuk dilayani di Shelter ini, karena, dengan penuh harapan, ketika mereka sembuh, mereka dapat kembali melayani banyak orang yang membutuhkan keahlian mereka. Selain itu, intensi para Suster CB bahwa shelter ini akan memprioritaskan mereka yang memiliki keterbatasan situasi tempat tinggal dan bahan pangan.
Sesuai ketentuan di awal, pasien yang dapat masuk adalah mereka yang berasal dari DIY dan telah membawa Surat Pengantar/Rujukan dan obat dari beberapa RS/Puskesmas/Klinik yang ditunjuk. Namun untuk yang kesekian kalinya, bapak penjaga keamanan sebagai petugas screening pertama yang berada di pintu gerbang dengan halus harus menolak mereka yang belum membawa ketentuan ini.
Kisah Kasih di Shelter Syantik
Siang ini, kami dikejutkan oleh seorang pemuda dari Lampung, yang disarankan untuk ke Shelter, namun sayangnya ia juga harus kami tolak karena tidak membawa surat rujukan. Petugas Admin sempat menyarankannya untuk meminta surat ke Klinik Realino atau Poli Gabriel karena domisilinya dari luar kota dan posisinya berada di luar area Puskesmas Depok 1/2/3.
Situasi sempat dibuat panik karena secara tidak diduga, pemuda ini tiba-tiba jatuh pingsan di depan pos satpam. Petugas dengan menggunakan APD segera dipanggil untuk memberikan pemeriksaan dan pertolongan pertama, lalu pasien segera dilarikan ke IGD RS Panti Rapih. Untungnya di Shelter Syantikara masih ada dokter Vega dan Mbak Tyas, petugas jaga dari RS sehingga bisa cepat dibantu. Menurut mereka, saturasinya bagus, 99% dan tensi 140/93, hanya ada keluhan sesak nafas.
Saat di IGD, hasil assessmen menunjukkan ternyata ada gangguan psikis akibat putus dengan pacar. Pasien memang diantar oleh ibu sang mantan pacar, karena orang tuanya ada di Lampung, hasil tes PCR/antigen pun tidak ada.
Berhubung yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria untuk isolasi di SS, karena sesak nafasnya disebabkan faktor psikis, sehingga akhirnya pasien kami sarankan untuk dibantu oleh psikiater.
Kata orang, virus patah hati itu memang lebih sulit diobati dan ternyata banyak yang setuju juga dengan pendapat ini.
Beberapa dokter dan suster juga turut memantau keadaannya dan mereka ikut prihatin, di tengah pandemi, walau harus patah hati, semoga segera pulih dan segera bangkit lagi ya…