Dalam usaha untuk membumikan Pancasila dengan pendekatan horizontal dan ilmiah, dunia pendidikan ditantang untuk memperbaiki pendidikan karakter, yang selama ini cenderung diabaikan oleh tekanan yang berlebihan pada pengajaran dimensi kognitif.
Pancasila Sebagai Titian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter. Pendidikan moral menitikberatkan dimendi etis dari individu dan masyarakat serta memeriksa bagaimana standar-standar kebenaran dan kesalahan dikembangkan. Pendidikan kewargaan memberikan kesempatan bagi keterlibatan aktif dalam proses-proses demokratis yang berlangsung di lembaga pendidikan dan komunitas. Pendidikan kewargaan menjadi berarti sejauh dikontekstualisasikan dengan realitas kebangsaan keindonesiaan, yang memiliki nilai-nilai inti kewargaannya yang khas, yang terkristalisasi dalam Pancasila. Pengembangan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dari kehidupan peserta didik.
Demikianlah yang disampaikan oleh Yudi Latif dalam sarasehan sehari di Wisma Syantikara Yogyakarta pada Minggu (12/2) pukul 08.30 – 13.00 WIB yang lalu. Sarasehan yang mengusung tema “Indonesia Berkarakter Enyahkan Kebangkrutan” tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dari Konferensi Nasional Lintas Agama (ICRP-Jakarta), Dr. Yudi Latif dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK-Jakarta), dan Dr. J. Kristiadi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS-Jakarta). Sedangkan Dr. Lukas Suryanto Ispandriarno MA, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hadir sebagai moderator. Sarasehan pendidikan yang dihadiri oleh lebih kurang 300 peserta tersebut diselenggarakan dalam rangka perayaan Jubilee Kongregasi CB ke-175 tahun dan Yayasan Tarakanita yang ke-60.
Pentingnya Pendidikan Karakter
Dari tuntutan-tuntutan ideal dalam pendidikan karakter seperti yang dipaparkan oleh Yudi Latif, menjadi terang peta bumi persoalan pendidikan karakter di tanah air ini. Sejauh menyangkut pendidikan kepribadian/budi pekerti, cacat yang paling jelas adalah verbalisme dengan lalu lintas komunikasi satu arah. Aneka bentuk pendidikan budi pekerti diberikan secara terfragmentasi dalam bentuk pelajaran khusus, seraya dilupakan integrasinya ke dalam keseluruhan matapelajaran dan proses pembelajaran. Pendidikan melalui suatu sudut kurikulum ini pun diringkas ke dalam formula “menu siap saji”, berupa rangkaian paket jadi yang memberikan siswa sedikit pilihan dan menumpulkan kapasitas moral judgment-nya.
Yudi Latif mengatakan bahwa pengajar cenderung mengkhotbahkan prinsip-prinsip moral umum secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan mengajukan pengalaman empiriknya. Pelajaran moral/budi pekerti dilakukan secara terisolasi dengan tidak memberikan wahana kepada siswa suatu pengalaman terstruktur untuk menghubungkan moral judgment dan moral situations yang dihadapinya.
Diskriminasi manusia atas dasar intelegensia juga begitu nyata di sini. Sistem penjurusan dan ujian nasional dibuat dengan menempatkan keunggulan dalam jenis intelegensia tertentu (terutama logic-matematik) sebagai ukuran utama untuk menempatkan orang sebagai warga negara kelas satu dan kelas dua. Pluralitas Indonesia dengan segala pluralitas potensi dan preferensi insaninya diabaikan oleh sentralisasi birokrasi pendidikan dalam budaya nir-demokratis dan kemujudan gagasan yang terus bertahan.
Dengan kegagalan yang nyata pada dua dimensi pendidikan karakter itu, nama Indonesia terkenal di pentas dunia karena kisah yang buruk: bangsa korup dengan moralitas yang lembek serta kapasitas daya saingnya yang terus merosot dalam kompetisi antar bangsa.
“Kesadaran akan pentingnya karakter harus dihidupkan. Kejatuhan politik cuma kehilangan penguasa; kejatuhan ekonomi, cuma kehilangan sesuatu. Tapi kalau kejatuhan karakter, suatu bangsa kehilangan semuanya. Saatnya memperhatikan dan memperbaiki pendidikan karakter,” tandasnya.
Internalisasi dan Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila
Ada beberapa hal yang disampaikan oleh Siti Musdah Mulia berkaitan dengan karakter yang hendaknya dimiliki bangsa Indonesia yaitu pertama, memiliki sikap spiritualitas yang terlihat dalam bentuk budi pekerti luhur dan akhlak mulia (integrity and piety). Kedua, memiliki empati kemanusiaan (humanity), berpihak pada upaya penegakan HAM, terutama bagi kelompok rentan, serta memiliki sikap volunterisme dan pluralisme. Ketiga, memiliki kecintaan terhadap NKRI dan rasa solidaritas terhadap sesama bangsa. Keempat, memiliki sikap demokratis serta berpartisipasi aktif dan konstruktif dalam upaya pembangunan bangsa. Kelima, memiliki kepedulian untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Solusi berkaitan dengan beberapa masalah yang dihadapi berkaitan dengan karakter bangsa adalah reinterpretasi Pancasila. Artinya, perlu menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka demi kepentingan dan kemaslahatan publik, perlu melakukan pemaknaan ulang terhadap Pancasila sesuai dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat madani yang demokratis, dan perlu diaplikasikan dalam kegiatan pemerintahan dan kehidupan masyarakat,” paparnya.
Selanjutnya, rekomendasi yang disampaikan oleh Siti Musdah Mulia adalah pertama, memperluas kajian Pancasila pada isu-isu kontemporer, seperti demokrasi, HAM, gender, civil society, dan good governance. Kemudian yang kedua adalah membangun basis rasionalisme dan penelitian mendalam terhadap gagasan politik Indonesia berdasarkan Pancasila, yakni politik yang berorientasi pada kemaslahatan bangsa, bukan kekuasaan. Ketiga, memasyarakatkan dialog interaktif dan konstruktif di antara berbagai elemen bangsa sehingga terbangun kesamaan visi melihat Indonesia ke depan.
Politik Bermartabat, Meluruskan Reformasi Sesat
Reformasi telah membawa berkah sekaligus musibah. Masyarakat mendapat berkah kebebasan, tetapi sebagian masyarakat mempergunakan kebebasan tidak mengindahkan kepentingan orang lain. Ranah paling rawan dalam melakukan transformasi politik adalah menata tertib politik yang demokratis.
Ada beberapa pertanyaan yang sering dikemukakan oleh publik yaitu, (1) adakah jalan keluar mengatasi persoalan multi dimensi, khususnya “kebangkrutan” moral yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pasca reformasi politik dewasa ini? (2) Dari titik mana persoalan yang kompleks dan tali-temali tersebut diurai? (3) Bagaimana mewujudkan kehidupan politik yang bermanfaat?
“Dalam konteks kekinian jawaban terhadap pertanyaan tersebut menjadi semakin mendesak mengingat kehidupan politik dewasa ini mengalami pendangkalan, manipulatif, transaksional serta semakin jauh dari budaya politik yang bermartabat dalam memaknai demokrasi serta hakekat kekuasaan. Ranah politik hanya sekadar arena pertarungan kepentingan kekuasaan tanpa roh dan ideologi serta kepemihakan kepada yang lemah. Kecenderungan ini kalau dibiarkan tidak mustahil akan menyeret transformasi politik menuju ke arah anarki sosial atau kembalinya kekuasaan yang represif,” demikian Kristiadi memaparkan.
Praktek politik selama lebih kurang 13 tahun telah berhasil melembagakan sebagian dari penyelenggaraan politik demokratis, khususnya kompetisi dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik telah menjadi bagian dari kehidupan politik yang wajar. Prestasi yang patut dibanggakan karena pelembagaan dalam kompetisi politik dapat menjadi modal yang sangat berharga untuk melakukan konsolidasi kehidupan demokrasi yang lebih substansial. Sayangnya, dalam waktu yang hampir bersamaan muncul tanda-tanda menakutkan karena elit politik telah memanipulasi demokrasi prosedural sebagai legitimasi perilaku politik yang korup. Sesat pikir dan niat sudah dimulai sejak mereka membayangkan nikmatnya kekuasaan yang akan direguk. Keserakahan para penguasa telah menghilangkan roh peradaban yang memuliakan politik: Pancasila.
Oleh sebab itu pendidikan ideologi Pancasila harus dilakukan para kader-kader partai politik yang nanti akan menjadi pemegang otoritas politik. Transformasi politik tanpa disertai dengan pembangunan karakter yang didasarkan nilai-nilai luhur bangsa dapat dipastikan hanya akan merusak tatanan dan menghancurkan masa depan bangsa dan negara.
Sementara itu untuk memutuskan mata rantai kesemrawutan yang dihadapi bangsa Indonesia agenda yang harus menjadi prioritas adalah menyusun regulasi yang berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Perangkat regulasi harus mempunyai tujuan dan arah yang jelas serta dilakukan secara komprehensif, kohesif, dan koheren, antara regulasi yang satu dengan lainnya.
“Gagasan dan pemikiran semacam itu sudah banyak dimiliki oleh masyarakat, bahkan sudah terlalu sering disampaikan kepada wakil rakyat serta pemerintah dalam berbagai forum dan kesempatan. Namun nampaknya mereka sudah kedap terhadap himbauan serta wacana publik yang menyuarakan dan mendesak agar agenda reformasi dilakukan dengan kaidah-kaidah yang benar. Oleh sebab itu sudah saatnya masyarakat membangun kekuatan yang demokratis untuk melakukan tekanan dan desakan terus-menerus kepada otoritas politik agar tunduk kepada kehendak rakyat,” tegasnya.