Pukul 03.00 dini hari, Selasa (9/11), Sr. Hilaria CB, pimpinan Komunitas St. Anna mendapat telepon dari RS. Panti Rapih (RSPR) bahwa ada satu pengungsi yang baru saja dievakuasi dari Tawangrejo, Turgo, Kecamatan Pakem, akan ikut mengungsi di Komunitas CB St. Anna (tempat penampungan pengungsi ini kemudian diberi nama Posko St. Anna – karena dari Pemda menganjurkan untuk memberi nama posko di setiap penampungan yang dijadikan tempat bagi para pengungsi). Kemudian Sr. Hilaria menuju ruang jaga tempat para suster yang stand by bila para pengungsi membutuhkan sesuatu atau ada peristiwa-peristiwa tak terduga untuk mengabarkan berita dari RSPR.

Pihak RSPR dan para suster beranggapan bahwa pengungsi yang baru saja dievakuasi oleh tim SAR yang sebelumnya dibawa ke salah satu rumah sakit di Jogja ini kondisinya sama seperti pengungsi lainnya yang butuh tempat tinggal sementara. Tanpa pikir panjang suster yang berjaga bersiap-siap untuk menerimanya.

Tak lama kemudian, datanglah ambulance dari rumah sakit lain yang ada di Jogja. Salah seorang turun dari ambulance dan menemui suster yang berjaga. Para suster terkejut, ternyata pangungsi yang dievakuasi tersebut adalah seorang kakek berusia 104 tahun. Salah seorang dari tim SAR mohon supaya kakek tersebut diterima di posko ini karena di rumah sakit sebelumnya menyarankan untuk dibawa di posko pengungsian karena tidak membutuhkan perawatan medis. Tanpa pikir panjang suster yang berjaga meminta supaya sang kakek dibawa masuk ke posko dulu supaya tidak kedinginan, mengingat ambulance yang mengantarnya akan segera pergi.

Akhirnya, suster yang berjaga menghubungi Sr. Silvia CB yang adalah seorang perawat untuk menengok kondisi sang kakek karena tidaklah mungkin bila ia harus bergabung dengan pengungsi lainnya. Hal ini mengingat bahwa sang kakek butuh pelayanan khusus karena untuk duduk saja sudah tidak bisa, apalagi harus berjalan. Tanpa pikir panjang, suster yang biasa dipanggil Sr. Silvi ini menghubungi RSPR minta 1 kamar untuk sang kakek dengan harapan di rumah sakit ada perawat yang bisa merawatnya.

Selanjutnya, dengan menggunakan ambulance milik RS. Panti Nugroho yang selalu stand by di Posko St. Anna, oleh Sr. Silvi, sang kakek diantar ke RSPR. Di sana kakek tersebut segera mendapat perawatan yaitu tubuhnya yang berdebu dan bau arang dibersihkan hingga bersih.

Ketika sang kakek akan dibawa ke ruang rawat inap, terlebih dahulu pihak RSPR meminta supaya salah seorang dari pihak keluarganya menandatangani berkas-berkas yang ada di RSPR. Ternyata, puteranya tidak mau tanda tangan dengan alasan bahwa yang membawa ayahnya bukan dia tapi tim SAR. Jadi, menurutnya yang harus tanda tangan adalah tim SAR karena ia memang tidak bermaksud supaya ayahnya dievakuasi. Ia mau agar ayahnya dibiarkan untuk tetap tinggal di rumahnya di Tawangrejo.

Mendengar ungkapan dari putera dari sang kakek tersebut, dengan tegas Sr. Silvi menyadarkan dan memberi masukan padanya karena tidaklah pantas bila seorang anak berkata demikian pada orang tuanya sendiri. Setelah memakan waktu beberapa saat, barulah hatinya luluh dan mau menandatangani berkas dari RSPR. Legalah hati Sr. Silvia. Kemudian bersama dua perawat RSPR sang kakek diantar ke Ruang Elisabeth 111B.

Sesampainya di posko, Sr. Silvi meminta agar ada suster yang membawakan keperluan mandi, pakaian ganti, dan kebutuhan lainnya. Siang harinya, ada suster yang menengok ke RSPR dan melihat bahwa puteranya sedang menyuapi sang kakek. Semua merasa lega karena akhirnya puteranya mau merawat sendiri ayahnya.

Tamu Dini Hari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_ID