1. Sr. Skolastika Polas Jawa
Suster Skolastika yang berasal dari Paroki St. Petrus Remu, Sorong, Keuskupan Manokwari ini lahir pada 10 Februari 1993 di Flores Timur. Ia mulai tertarik menjadi seorang biarawati sejak umur 5 tahun ketika melihat para suster berpakaian putih membagikan komuni di Gereja. Pengalaman yang terekam ini mendorongnya untuk rajin mengikuti Ekaristi setiap minggu. Cita-citanya tidak berubah hingga ia dipertemukan dengan sosok suster yang tulus dan peduli melayani orang-orang di Papua Barat, yaitu Sr. Zita CB.
Ketika lulus SMA dan ia memutuskan untuk hidup membiara, keinginan tersebut tidak disetujui oleh ibu dan keluarga besarnya. Satu-satunya orang yang mendukung
cita-citanya adalah ayahnya. Proses panjang ia lalui untuk mendapatkan restu dari ibu dan keluarga besarnya. Akhirnya, berkat rekomendasi dari ibunya, ia bergabung
dengan Kongregasi CB, Kongregasi yang bukan menjadi pilihannya. Kecewa namun ia berani mencoba.
Selama menjalani masa pembinaan baik masa postulat, novisiat, maupun masa yuniorat, ia yang awalnya
bergabung dengan Kongregasi CB dengan berat hati, kini justru merasa bersyukur dan bahagia. Melalui Kongregasi ini banyak hal baik yang ia peroleh untuk bertumbuh dan
berkembang dalam kedewasaan melalui berbagai macam pembinaan dan sarana-sarana yang ada. Hal ini juga semakin membuatnya bertumbuh dalam cinta pada Tuhan,
Kongregasi, sesama, diri sendiri, dan juga pada panggilan untuk hidup membiara.

 

2. Sr. Servatia Pereira Barros
Suster Servatia Pereira Barros lahir di Same, Timor Leste, pada 25 April 1992. Panggilan menjadi seorang biarawati ia rasakan sejak di bangku SMP. Meskipun panggilan itu tampak samar-samar, namun ketika SMA makin jelas berkat keterlibatannya sebagai misdinar dan aktif dalam koor di lingkungan. Misteri Panggilan ini semakin nyata ketika adanya ajakan dari keluarga agar ia tetap menjaga ikatan keluarga antara keluarga bapak dan keluarga ibu. Dalam refleksinya, ia menemukan bahwa itulah cara Tuhan memanggil melalui pengalaman bersama keluarga. Setelah lulus SMA, ia mulai mengikuti pembinaan sebagai aspiran. Selama masa aspiran, panggilannya semakin mantap. Dengan rahmat Tuhan ia dimampukan untuk beradaptasi dengan semangat keterbukaan dan kerendahan hati untuk mau belajar. Salah satu motivasinya yaitu ingin menjadi suster yang melayani. Proses pembinaan yang ia jalani hingga masa yuniorat tak selamanya berjalan
mulus. Meskipun jatuh bangun dalam menghayati nilai-nilai hidup religius, namun dengan pengalaman Kasih Allah memampukannya tetap melangkah maju
dengan kepercayaan penuh pada Penyelenggaran Ilahi.
Dalam proses itulah ia menemukan bahwa Tuhan mencintainya. Banyak pergulatan, namun ia bersyukur bahwa dengan pengalaman hidup doa, refleksi, pengolahan
hidup, discernment, rekoleksi komunitas, retret, dan berbagai macam kegiatan pembinaan yang ditawarkan oleh Kongregasi semakin membantunya untuk terus-menerus memperbaharui diri. Ia merasa semakin didewasakan dan semakin memiliki kebebasan batin untuk menemukan banyak cinta. Ia pun semakin menyadari bahwa ia dicintai oleh Allah. Dengan demikian, ia ingin membalas cinta itu dengan memberikan diri untuk ikut ambil bagian dalam karya keselamatan melalui karya dan perutusan yang dipercayakan kepadanya, yang terwujud dalam pemberian diri secara total kepada Tuhan melalui Kongregasi CB. Dimuliakanlah Nama Tuhan untuk selama-lamanya. Amin.

3. Sr. Rensilinda Julita
“Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku….” (Yes
55: 8). Kutipan ini menjadi inspirasi dalam mengisahkan kembali panggilannya. Sr. Rensilinda Julita Tuwa lahir di Terang pada 18 Oktober 1988 berasal dari Paroki Hati Kudus Yesus Lando, Keuskupan Ruteng.
Ketertarikannya menjadi biarawati berawal dari perjumpaannya dengan seorang suster yang datang ke parokinya, ketika ia masih di Sekolah Dasar. Perjumpaan
itu membuatnya bahagia. Setamatnya dari SMA ia menyampaikan keinginannya untuk hidup membiara kepada kedua orang tuanya.
Sayangnya, orang tua belum mengijinkan. Pada tahun berikutnya orangtua memberinya restu untuk bergabung di kongregasi, tetapi bukan Kongregasi CB. Masa aspiran ia jalani selama beberapa bulan dan ternyata ia gagal. Kerinduannya untuk dapat hidup membiara muncul kembali seiring dengan perjalanan waktu. Dua tahun berlalu. Melalui doa kepada Bunda Maria ia mendapat jawaban atas panggilan untuk kembali masuk biara. Biara CB adalah pilihan terakhir dari banyaknya Kongregasi yang ada di daerahnya berkat perjumpaan dengan Sr. Antona CB.
Selama masa pembinaan, ia merasa dibentuk untuk
menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas panggilannya. Dengan kesadaran penuh dalam berproses, seringkali ia jatuh namun terus berupaya untuk bangkit. Di masa yunioratnya, ia mengalami kasih Allah yang tanpa syarat dan melihat realita hidup panggilan yang sesungguhnya bahwa tidak semuanya berjalan dengan mulus. Justru jalan seperti itulah yang mambuatnya semakin mengenal apa yang Tuhan inginkan atas hidupnya. Pengalaman dicintai oleh Allah memampukannya untuk terus maju. Ia bersyukur karena Kongregasi memberinya kesempatan untuk berkembang melalui hidup doa, hidup bersama, maupun hidup karya. Pengalaman dikuatkan, diteguhkan, dan kebahagiaan menjalani panggilan adalah berkat campur tangan Allah yang senantiasa menyertai.

4. Sr. Damiana Maria Lusia Helyanan
Sr. Damiana Maria Lusia Helyanan berasal dari Paroki St. Petrus – Paulus Rumaat, Maluku, Keuskupan Amboina. Suster kelahiran Ngabub, Maluku Tenggara, pada 5 Mei 1992 ini ingin menjadi seorang biarawati ketika lulus dari SMA. Tuhan mengirimkan sosok suster berhabijt biru dengan suaranya yang lembut yaitu Sr. Zita CB.
Perjumpaan mereka di 17 Bintuni, Papua, merupakan langkah awal perjalanannya untuk bergabung dengan Kongregasi CB.
Pengalaman tinggal bersama para suster di Komunitas Sorong selama satu tahun semakin memupuk kerinduannya untuk hidup membiara. Di komunitas tersebut ia belajar mulai dari hal-hal sederhana seperti memasak dan belanja kebutuhan biara. Selain itu ia pun mengikuti Ekaristi harian, belajar berdoa, dan ikut membantu Sr. Zita di poliklinik. Ia merasa bahwa kesaksian hidup para susterlah yang membuatnya berani mengambil keputusan penting dalam hidupnya yaitu hidup membiara.
Selama menjalani masa pembinaan di postulat, novisiat, maupun masa yuniorat ia merasa bersyukur karena Tuhan sangat mencintainya. Pembinaan terus-menerus membentuknya menjadi pribadi yang dewasa dalam menghadapi setiap peristiwa. Ia semakin bertumbuh dalam cinta kepada Tuhan, Kongregasi, dan sesama. Di balik setiap peristiwa dalam perjalanan panggilannya, ia menemukan bahwa cinta Tuhan tidak terbatas. Rasa syukur selalu dipanjatkan karena melalui Kongregasi ia semakin mampu mencintai, menerima diri, dan panggilannya sebagai Suster CB.

 

5. Sr. Felicie de Deus Maia
“Ingin menjadi suster seperti saudara sepupu saya,” kata Sr. Felicie de Deus Maia dengan lugas ketika mendapat
pertanyaan mengapa tertarik menjadi biarawati. Suster asal Timor Leste yang lahir di Assui Craic, pada 1 Februari 1990 ini mengira bahwa semua biarawati itu sama, hanya satu kongregasi. Pengalaman menarik lainnya adalah saat Natal dan Paskah, para suster akan berpastoral di daerah yang jauh dari perkotaan.
Salah satunya adalah tempat di mana Sr. Felice tinggal. Oleh karenanya ia sangat ingin dekat dengan para suster.
Perjumpaan dengan teman sekolah yang saat itu menjadi Postulan CB semakin memperkuat keinginannya menjadi suster. Perjumpaan yang sederhana namun berpengaruh
besar dalam hidup selanjutnya. Setelah lulus SMA, temannya mengajak untuk menjumpai pendamping para Postulan CB di Timor Leste, Sr. Yvonne CB. Ketika menyampaikan keinginannya untuk hidup membiara pada orangtua, mereka pun tidak berkeberatan.
Selama masa pembinaan, ia dibimbing menjadi pribadi yang dewasa, beriman, dan bertanggung jawab terhadap pilihan pilihannya. Kehadiran Tuhan yang senantiasa mencintai,membimbing, dan menyertai melalui teman-teman dan para suster pendamping sungguh ia rasakan. Masa yuniorat semakin membuatnya sungguh merasakan betapa Tuhan
yang baik itu mencintainya tanpa syarat. Hal ini ia rasakan ketika mengalami tantangan dan kesulitan. Di sanalah Tuhan selalu memberi kekuatan untuk menghadapinya. Pengalaman kasih Allah inilah yang membuatnya berani menjawab panggilan Tuhan.

 

6. Sr. Franberthis Vina Pertiwi
Suster Franberthis Vina Pertiwi terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Suster asal Paroki Hati Yesus Yang Maha Kudus, Metro, Lampung Timur ini lahir di Metro pada 24 Maret
1996. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga Katolik yang sederhana. Sejak kecil ia telah dibiasakan rajin mengikuti Ekaristi dan aktif dalam kegiatan menggereja.
Dengan demikian tak heran bila ia sering berjumpa dengan sosok biarawati yang selalu membuatnya merasa damai dan nyaman.
Ketika SMP panggilan untuk menjadi biarawati sempat hilang karena ia ingin menjadi guru. Ia tidak tahu bila sorang suster pun bisa menjadi guru dan mengajar di sekolah. Keputusan Sr. Franberthis memilih Kongregasi CB berawal dari brosur yang diperolehnya dari salah seorang pastor. Pertama kali yang membuatnya jatuh cinta adalah foto Sr. Yosita CB bersama dengan siswa/siswi sekolah. Seorang suster yang sungguh hadir di tengah kaum muda. Itulah yang semakin memantapkan niatnya untuk menjadi biarawati. Tak ia duga, Tuhan sungguh menangkapnya melalui Sr. Yosita yang menyapanya dan memberi semangat ketika ujian SMA. Rasa bahagia sungguh ia rasakan saat itu.
Dukungan yang ia terima ketika memutuskan untuk hidup membiara bukan hanya dari orangtua saja, melainkan dari keluarga besar dan lingkungan sekitar. Dalam perjalanan
waktu, Sr. Franberthis semakin menyadari betapa cinta Tuhan itu tak terbatas. Tuhan sungguh setia menemaninya dalam segala situasi. Keterbukaan hati untuk mengenal dan dikenal oleh Kongregasi membuatnya semakin masuk dalam tubuh Kongregasi. Tidak ada yang sempurna, karena kelak Tuhanlah yang akan menyempurnakan apapun itu.
Berkat rahmat Tuhanlah ia dianugerahi keberanian untuk membalas cinta Tuhan dengan memberikan diri seutuhnya dalam Kongregasi CB.

 

7. Sr. Theofila Sekarwati
Suster Theofila Sekarwati lahir di Sidomulyo pada 18 Agustus 1995. Ia berasal dari Paroki Hati Yesus Yang Maha Kudus, Metro, Lampung Timur, Keuskupan Tanjung Karang. Keinginannya menjadi suster berawal ketika mengikuti kegiatan Remaja Katolik yang didampingi oleh Romo dan Suster. Kesaksian hidup dari biarawan dan biarawati tersebut
membuatnya kagum. Terasa damai dan nyaman ketika berada bersama mereka.Orangtuanya pun sangat mendukung atas keterlibatannya dalam hidup menggereja.
Seiring berjalannya waktu, ketertarikan menjadi seorang biarawati sempat samar-samar. Namun, ketika lulus dari SMA mau tidak mau ia harus membuat pilihan untuk masa
depannya. Ia bersyukur bahwa orangtua memberi kebebasan padanya untuk bertanggung jawab membuat pilihan. Sampai akhirnya ia memilih untuk menanggapi panggilan Tuhan untuk menjadi seorang religius.
Kongregasi mana yang akan dipilih, bukanlah masalah. Pilihan yang ia ambil sangatlah sederhana, yaitu memilih kongregasi yang jauh dari tempat tinggalnya. Bersyukur bahwa pastor paroki pada saat itu memberi brosur Kongregasi CB. Tanpa pikir panjang, bersama temannya sejak kecil (Sr. Franberthis) ia berangkat ke Yogyakarta menjalani masa pembinaan awal sebagai Aspiran CB.
Dalam masa pembinaan, banyak pengalaman yang membentuk sekaligus menghancurkan supaya dapat dibentuk sesuai dengan keinginan Allah. Kasih Allah ia rasakan dalam kesederhanaan, dalam hidup harian, dan dalam semangat Bunda Elisabeth. Keutamaan dalam belarasa dan mencintai tanpa syarat menjadi penghayatan sekaligus tantangan yang terus berkelanjutan. Masa yuniorat dengan segala dinamika yang terjadi sungguh membawanya mengenal, masuk, dan terlibat dalam Kongregasi CB. Selanjutnya, keutamaan dan kelemahan
yang tak terpisahkan menjadi konsekuensi yang harus dihidupi dalam pilihannya. Akhirnya, ia berani mengikrarkan kaul kekal dalam Kongregasi CB untuk pengabdian kepada sesama dan demi kemuliaan Tuhan.

8. Sr. Emila Elisabeth Tuwa
Kerinduan untuk hidup membiara dirasakan oleh Sr. Emila Elisabeth Tuwa sejak ia masih di sekolah dasar. Sr. Emila lahir di Lokabeo pada 15 November 1994. Suster asal Paroki St. Yosep Laja, Keuskupan Agung Ende tersebut tertarik dan kagum pada biarawati yang ramah, murah senyum, dan dekat dengan anak-anak. Keinginannya menjadi suster semakin besar ketika SMP dan SMA ia tinggal di asrama yang dikelola oleh salah satu kongregasi. Sayangnya, keinginan itu sempat pudar ketika melihat sosok biarawati yang tidak sesuai dengan yang ia bayangkan dan juga karena relasi.
Panggilan itu muncul kembali ketika SMA pada waktu banyak suster dari berbagai macam kongregasi datang ke sekolahnya untuk promosi panggilan. Salah satunya adalah Kongregasi CB. Dari semua Kongregasi, hatinya lebih tergerak pada Kongregasi CB karena tertarik pada nama Pendirinya yang kebetulan sama dengan namanya, Elisabeth. Kerinduannya untuk hidup membiara sempat terhalang restu orangtua yang satu di antaranya adalah karena ia anak perempuan satu-satunya. Namun bila Tuhan sudah berkehendak, jalan itu pasti terbuka. Dengan 23 kehadiran salah satu Pastor OCD yang memberi pengertian pada orangtua, akhirnya restu pun diperolehnya.
Perjalanan untuk menjadi suster dimulai dengan mengikuti masa pembinaan di Postulat- Novisiat CB Kupang. Selama masa pembinaan ia sangat bersyukur karena di sana ia dibentuk, dibina, dibimbing dan diarahkan menjadi seorang Religus CB yang mandiri, dewasa, kuat, tangguh dan bertanggung jawab dengan pilihan hidupnya. Kesetiaan dan ketekunan dalam menghidupi dan menghayati Spiritualitas Kongregasi, penghayatan kaul-kaul, hidup doa, hidup bersama, diskresi, pengolahan hidup serta pengalaman dicintai Allah menghantarkannya untuk berani melangkah menyerahkan hidup seutuhnya pada Allah melalui Kongregasi untuk mengikrarkan Kaul Kekal.

 

(dikutip dari Surat Basis Agustus 2022)

Sharing Panggilan Pestawati Kaul Kekal 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_US