Tatapan matanya tajam, bening, dan penuh kepasrahan. Sungguh ironis dengan raganya yang lemah, berdebu, dan bau arang. Kuku pada jemari tangan dan kakinya panjang serta hitam. Jelas bahwa sudah lama tak dipotong dan dibersihkan. Ia tak mampu berdiri. Jangankan bangkit berdiri, untuk duduk pun tulang-tulangnya yang renta sudah tak mampu lagi menyangga berat tubuhnya.

Sosok tua itu tengah terbujur di branckad. Ketika diturunkan dari ambulance dan kemudian didorong memasuki gedung Biara CB Santa Anna, ia hanya diam tanpa kata. Pun krtiks ditanya oleh seorang suster apakah ia kedinginan? Jawabnya, “Mboten.” Sesudah itu ia terdiam lagi, bingung dengan situasi asing di sekelilingnya. Dalam diamnya, ia mengamati satu persatu orang yang lalu-lalang di dekat branckad-nya, tanpa suara. Diam, tenang, seakan tak peduli dengan kesibukan orang-orang yang mengupayakan tempat untuknya. Namun, benarkah ia tak peduli dengan situasi di sekelilingnya?

Orang tua itu bernama Mbah Karyo. Dari tatapan matanya yang bening dan suaranya yang terdengar dengan jelas, siapa pun tak menyangka bila sosok renta itu berusia 104 tahun. Ketika semua orang di dusunnya berlari menjauhi Merapi yang sedang mengamuk pada Jumat (5/11) dini hari, ia tinggal seorang diri di rumahnya yang sangat sederhana, tepatnya di Tawangrejo, Purwobinangun, Pakem.

Dalam kesendiriannya, ia hanya bisa diam dan pasrah pada Sang Khalik. Sementara semua orang berlari menyelamatkan diri, ia hanya bisa mendengarkan suara hiruk-pikuk disertai dengan gemuruh yang berasal dari Gunung Merapi. Ingin bangkit dan berlari meninggalkan peraduannya, ia tak mampu. Ingin berteriak pun lidahnya terasa kelu.

Minggu (7/11) kira-kira pukul 23.00 WIB, ia mendengar ada orang yang menghampiri rumahnya. Ternyata, puteranya datang bersama dengan Tim SAR. Sulit dibayangkan bagaimana suasana hatinya saat itu ketika puteranya datang menjemput dan membawanya serta. Ia dibawa menjauhi Lereng Merapi, tempatnya yang sudah puluhan tahun ia tinggal. Semua orang tidak tahu apakah ia senang dijemput untuk menyelamatkan diri, ataukah ada perasaan berat meninggalkan rumah? Andaikan ia bisa bicara, mengungkapkan semuanya, tentunya semua orang akan tahu apa yang ada dalam relung hatinya.

Beberapa hari setelah Merapi mengalami erupsi sangat dahsyat dan ketika semua masyarakat yang tinggal di Lereng Merapi mengungsi, Tim SAR berupaya mengevakuasi ternak milik warga yang ditinggalkan pemiliknya. Mereka mendengar bila masih ada seorang tua yang ditinggal sendirian di tempat yang berbahaya itu. Kemudian mereka berembug bersama puteranya untuk mengevakuasi bapak tua itu. Awalnya, puteranya mengizinkan Tim SAR mengevakuasi ayahnya bila ada yang bertanggung jawab di tempat pengungsian. Pikir Tim SAR, apakah puteranya sendiri tidak bersedia bertanggung jawab akan keselamatan ayahnya sendiri? Tim SAR sedikit heran mendengar ungkapan dari salah satu putera Mbah Karyo. Siapakah yang tidak tergerak hatinya untuk menyelamatkan orang tua itu, sedangkan ternak saja mereka selamatkan? Bukankah nilai hidup seseorang lebih tinggi dari ternak? Nurani Tim SAR pun berbicara, apa pun yang terjadi, Mbah Karyo harus diselamatkan.

Malam itu juga, Tim SAR beserta puteranya mengevakuasi Mbah Karyo. Tujuan utama adalah salah satu rumah sakit di DIY. Sesampai di rumah sakit, dikatakan bahwa Mbah Karyo tidak sakit dan tidak perlu dibawa untuk berobat. Saat itu Tim SAR berharap agar untuk sementara Mbah Karyo tinggal di rumah sakit dulu karena kondisi fisiknya yang sudah renta tidak memungkinkan untuk dijadikan satu dengan masyarakat lainnya yang tinggal di pengungsian. Namun, tidak ada tempat bagi Mbah Karyo.

Keesokan harinya (9/11), pukul 03.00 WIB dini hari, dengan diantar oleh ambulance dari rumah sakit tersebut, Mbah Karyo tiba di Biara CB Santa Anna, yang kemudian dinamakan Posko Santa Anna. Di sana terdapat 372 pengungsi dari berbagai dusun di Lereng Merapi. Seperti biasanya, para suster yang stand by di posko tersebut menerima dan mendata pengungsi yang datang. Kebetulan yang mendaftarkan Mbah Karyo itu puteranya. Setelah para suster tahu bahwa yang didaftarkan itu seorang kakek yang berumur 104 tahun, terkejutlah mereka. Spontan para suster meminta tolong untuk membawa masuk Mbah Karyo karena kalau masih berada di luar akan kedinginan. Lagi pula ambulance akan segera pergi meninggalkan Posko Santa Anna.

Sementara itu, tatapan nanar dari putera, menantu, dan keluarganya menyapu para pengungsi yang masih dibuai mimpi di ruang tamu Biara Santa Anna. Terungkap kata-kata ‘tidak rela’ bila ayahnya harus bergabung bersama para pengungsi di tempat ini. Mereka menginginkan agar ayahnya diterima di tempat yang khusus, padahal di Posko Santa Anna sudah tidak ada lagi kamar yang kosong. Semuanya penuh. Puteranya sempat mengatakan pada Tim SAR bila tidak ada tempat bagi ayahnya, maka ia akan mengembalikan sang ayah ke Tawangrejo.

Salah satu suster mengupayakan tempat dengan menghubungi Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR). Hal ini dilakukan karena mengingat kondisi fisik Mbah Karyo yang butuh pelayanan khusus, segala keperluannya harus dibantu oleh orang lain. Seiring dengan kata-kata simpati dan ungkapan keprihatinan lainnya dari para suster kepada Mbah Karyo, tim SAR yang membawanya berulangkali mengucapkan terima kasih karena para suster bersedia dan mau menerima sosok renta yang baru saja dievakuasi dari Lereng Merapi.

Selanjutnya, dengan menggunakan ambulance milik RS. Panti Nugroho yang selalu stand by di Posko Santa Anna, Mbah Karyo diantar ke RSPR. Di sana Mbah Karyo segera mendapat perawatan yaitu tubuhnya yang berdebu dan bau arang dibersihkan hingga bersih.

Ketika Mbah Karyo akan dibawa ke ruang rawat inap, terlebih dahulu pihak RSPR meminta supaya salah seorang dari keluarganya menandatangani berkas-berkas yang ada di RSPR. Ternyata, puteranya tidak mau tanda tangan dengan alasan bahwa yang membawa ayahnya bukan dia tapi Tim SAR. Jadi, menurutnya yang harus tanda tangan adalah Tim SAR karena ia memang tidak bermaksud supaya ayahnya dievakuasi. Ia mau agar ayahnya dibiarkan tetap tinggal di rumahnya di Tawangrejo karena menurutnya, toch ayahnya akan “habis” dengan sendirinya di sana.

Mendengar ungkapan putera dari Mbah Karyo tersebut, dengan tegas Sr. Silvia CB yang mengurusnya menyadarkan dan memberi masukan padanya karena tidaklah pantas bila seorang anak berkata demikian pada orang tuanya sendiri. Dikatakan oleh Sr. Silvia CB bahwa Tim SAR mengevakuasi Mbah Karyo karena punya hati nurani dan tidak tega melihat orang tua sendirian di tengah bahaya. Mengapa justru puteranya sendiri tega membiarkan ayahnya di tengah bahaya Merapi sendirian? Setelah memakan waktu beberapa saat, barulah hatinya luluh dan mau menandatangani berkas dari RSPR. Legalah hati Sr. Silvia. Kemudian bersama dua perawat RSPR, Mbah Karyo diantar ke Ruang Elisabeth 111B.

Siang harinya, salah satu suster menengok Mbah Karyo ke RSPR dan melihat bahwa puteranya sedang menyuapi Mbah Karyo. Semua merasa lega karena akhirnya puteranya mau merawat sendiri ayahnya.

Malam harinya, salah satu Tim SAR bernama Dono yang mengevakuasi Mbah Karyo pagi tadi datang ke Posko Santa Anna. Ia menceritakan peristiwa sesungguhnya berkaitan dengan evakuasi Mbah Karyo tadi setelah mencari info dari masyarakat berkaitan dengan keberadaannya.

Diceritakan bahwa Mbah Karyo tinggal sendiri di rumah yang sangat sederhana, sedangkan anak-anaknya sudah berkeluarga, menjadi orang terpandang dan mampu secara materi. Sayang, tak seorang pun anaknya yang mau menerima sang ayah yang sudah uzur untuk tinggal bersama. Ayahnya dibiarkan tinggal sendirian, tidur di kasur yang sudah menyatu dengan debu dan tanah. Sedangkan di sampingnya terdapat tungku yang setiap malam diberi tambahan kayu bakar oleh salah seorang anaknya agar ia tidak kedinginan. Sisi lainnya terdapat lentera kecil untuk menerangi biliknya. Pemandangan lain yang sempat terekam oleh Tim SAR adalah terdapat beberapa mangkuk dan gelas tempat makan dan minum yang sudah bercampur abu vulkanik dan abu dari tungku.

Keesokan harinya, ketika para suster menanyakan kondisi Mbah Karyo pada perawat RSPR via telepon, dikabarkan bahwa Mbah Karyo sudah dijemput oleh salah satu puteranya dan dibawa pulang ke daerah Maguwoharjo. Kebetulan Mbah Karyo diantar menggunakan ambulance RSPR.

Entah bagaimana kondisi Mbah Karyo saat ini. Kami yakin bahwa Mbah Karyo hanya diam dan pasrah pada Sang Khalik. Di sorot matanya yang tajam, suaranya yang lantang, dan kepasrahan hatinya, semoga ia masih bisa bersyukur dan mengalami kemurahan hati Tuhan melalui putera-puterinya. Kami hanya bisa berharap pada Tuhan agar Ia menjaga dan melindungi Mbah Karyo di usianya yang renta.

Mbah Karyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_US