Renungan 4 November 2022
Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus
Provinsi Indonesia

HUMILITAS…
sebagai Jalan Kesucian St. Carolus Borromeus

Sekilas Gereja Abad Pertengahan.
Pada akhir abad pertengahan di dalam Gereja Katolik muncul tuntutan pembaharuan/reformasi atas tubuh Gereja: mulai dari Kepala yakni Paus dan para pembantunya sampai anggota-anggotanya yakni Uskup, Imam, Biarawan-biarawati, dan umat seluruhnya. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa situasi Gereja Katolik amat sangat menyedihkan. Para pimpinan Gereja terlalu sibuk dengan kepentingan sendiri. Mereka hidup kaya raya dan berkelimpahan harta sementara umat hidup dalam kecemasan, kekurangan, dan ketidakpastian. Umat tidak mendapatkan pelayanan yang layak sehingga berakibat pada kemerosotan kehidupan beragama, umat hidup tanpapegangan dan arah hidup. Situasi ini masih diperparah dengan situasi kemiskinan yang meluas. Munculnya reformasi yang digaungkan oleh Martin Luther atas situasi tersebut segera mendapat tempat di hati banyak umat pelbagai negara. Maka Gereja terpecah. Yang menyedihkan adalah kedua pihak yang berdiri atas nama Kristus, saling membenci, memusuhi dan berlanjut menjadi peperangan. Kekerasan muncul di mana-mana, karena masing-masing pihak mencoba memaksakan pandangannya. Yang tidak sependapat dianggap musuh, oleh karenanya harus disingkirkan. Begitulah situasi yang dialami oleh Carolus Borromeus di Gereja Roma, yang kemudian hari masih sangat terasa dalam reksa pastoralnya di Keuskupan Agung Milan.

Konsili Trente mencoba menjawab pertanyaan dan tuntutan-tuntutan dari gerakan reformasi Martin Luther – dikenal dengan Reformasi protestan. Upaya tersebut memang tidak memuaskan kalangan protestan, sehingga perpecahan dalam tubuh Gereja harus diterima. Pokok penting yang dihasilkan Konsili Trente untuk reformasi dalam tubuh Gereja Katolik adalah Keselamatan jiwa-jiwa merupakan hukum yang tertinggi. Sebuah keputusan yang membaharui Gereja secara radikal. Nama Carolus Borromeus dicatat dengan tinta emas dalam jantung Gereja karena pembaharuan nyata yang mengubah wajah Gereja menjadi lebih selaras dengan Yesus Kristus. Dalam aneka rupa kemegahan fana itulah sikap rendah hati Carolus Borromeus memancarkan terang yang cemerlang, menuntun Gereja kembali pada semangat asali para nelayan sederhana yang dididik rendah hati oleh Yesus Kristus Sang Guru.

HUMILITAS-RENDAH HATI
Humilitas-Humilis memiliki arti rendah hati, itulah tulisan yang tertera pada lambang Keuskupan Agung Milano yang mencerminkan nilai utama yang menjadi roh penggerak St. Carolus Borromeus dalam perutusan kegembalaannya. Semangat itu diperjuangkan dan dihayati dengan penuh dedikasi oleh St. Carolus. Menyambut peringatan wafat St. Carolus Borromeus, 4 November 2022, kami mengajak para Suster untuk merenungkan keutamaan Humilitas-Rendah Hati dalam upaya ambil bagian dalam karya cintakasih Allah.

“Kerendahan hati, yang merupakan dasar dari semua keutamaan diperdalam sedemikian rupa dengan matiraga dan doa yang berkanjang. St. Carolus Borromeus, sebagai anggota ordo ketiga dari St. Fransiskus, tidak hanya memakai jubah, tetapi terutama mengambil semangat kemiskinan St. Fransiskus Asisi sebagai teladan hidupnya. Ia begitu ramah dalam menjamu tamu, menyukai keindahan dan meninggalkan semua pameran kemegahan diri (lihat Cesare, Kisah Hidup St. Carolus Borromeus hal. 470)”

Rendah Hati berarti meninggalkan semua Kemegahan Diri.
Gerak kerendahan hati Carolus Borromeus diwujudkan dengan meninggalkan semua kemegahan dan kemewahan diri. Secara nyata ia memberikan teladan sikap rendah hati dalam laku hidup sehari-hari di Keuskupan tempat tinggalnya. Hal tersebut meng-counter semangat pamer dan pemujaan aneka nafsu keduniawian yang tentu bertentangan dengan sikap rendah hati. Carolus mendapati bobroknya diosis keuskupannya karena telah begitu terlantar dalam waktu yang lama sekali, kurang lebih 80 tahun.

Sebagai laku sikap rendah hati yang dihayatinya, ketika Carolus menjabat sebagai Uskup Agung Milan, ia melepaskan prebende dan hak-hak yang didapatnya sebagai pelindung beberapa kota yang dapat memberi keuntungan dan memperkaya diri. Sebaliknya Carolus mewarnai keuskupannya dengan kesederhanaan agar semangat rendah hati menemukan tempat subur untuk bertumbuh dalam kegersangan moral dan iman saat itu. Kamar-kamar dalam istana uskup diatur dengan sederhana, makanan yang disajikan tidak berlebihan dan doa bersama diatur dengan ketat. Ia memilih dengan seksama para pembantunya dari luar kota Milano untuk menghindari besarnya gangguan kepentingan pribadi. Istana uskup yang ketika awal begitu terlantar, apek, dan bau, kini menjadi tempat yang penuh daya kehidupan setelah Carolus menempati dan menyelenggarakan pelayanan yang dijiwai olah rohani, ekaristi dan doa-doa yang menggema di Katedral Milano (lihat hal. 47).

Bentuk sikap rendah hati Carolus juga tercermin dalam upaya-upaya pembaruannya dalam reksa pastoral. Sebagai seorang pucuk pimpinan, Carolus sangat rajin menempuh perjalanan yang jauh dan sulit untuk mengunjungi para imam dan umatnya yang miskin. Ia mendatangi, tinggal bersama mereka, mendengarkan dan mengalami berbagai kesulitan. Tak jarang, dalam kesempatan-kesempatan itu, menjadi saat seorang gembala mencari dan menyelamatkan domba-dombanya. Ia tak lelah mendengarkan mereka dan memberikan pengampunan serta mendorong terjadinya pertobatan yang sejati. Rendah hati berarti terbuka diperbarui dan memperbarui.

Setiap orang yang ingin mengadakan pembenahan yakin bahwa, ia tidak akan berhasil walaupun disertai tuntutan hukuman sekalipun kalau ia tidak lebih dahulu membenahi diri sendiri. Ia harus memperbaiki diri terlebih dahulu sebelum memperbaiki yang lain (Cesare, 111). Carolus memberi teladan pembaruan dari dirinya sendiri. Pertama, Carolus sangat menyadari sikap dirinya yang kurang mendukung pelayanan yakni sikap menguasai dan cenderung memaksakan pendapat secara kuat. Karenanya, usahanya sebagai pemimpin selalu diancam oleh motivasi pencapaian kesempurnaan lahiriah semata tanpa memikirkan kehidupan iman dan kebahagiaan bersama. Carlo menyadari bahwa untuk mengatasi hal tersebut diperlukan penguasaan diri yang tangguh dan itu dicarinya melalui hidup doa yang mendalam.

Carlo mengungkapkan pada Mgr. Bartolomeo tentang cita-citanya yaitu menjadi “gembala yang baik”. Untuk itu ia harus mengalami perubahan dalam diri pribadinya. (Carolus Putera Borromeus hal. 63) Upaya menjadi gembala yang baik, dilakukan oleh Carolus dengan mengadakan visitasi-visitasi ke wilayah keuskupannya. Dalam kunjungan dan perjumpaan-perjumpaan dengan para imam dan umat, ia menunjukkan kasih kebapaan yang penuh welas asih, kemurahan hati dan keteladanan yang hidup. Pengalaman melihat, mendengarkan langsung dan mengenal secara dekat kondisi umat, telah membuka dialog yang berarti untuk kemajuan hidup iman umatnya dan Gereja keuskupannya. Carolus kemudian menyelenggarakan konsili-konsili dan sinode-sinode di keuskupan untuk lebih mendengarkan dan mengajak para imamnya lebih terlibat dalam menghayati tugas pokok imamat mereka, yakni memelihara iman dan memperhatikan keselamatan jiwa-jiwa seluruh umat. Konsili dan sinode ini juga menjadi sarana bagi Carolus untuk mendidik, menjalin relasi yang erat dengan rekan imamnya, dan menemani perjalanan mereka dalam mewujudkan cita-cita Gereja saat itu. Gereja Sinodal telah dilakukan oleh St. Carolus lebih dari 400 th yang lalu dan ternyata masih sangat relevan hingga kini. Saat ini Gereja dan Kongregasi mengajak kita semua terlibat dalam Gerakan Sinode. Sinode menjadi undangan untuk berjalan bersama dengan saling mendengarkan, berdialog, melakukan discernment atau maneges bersama, dll. Dengan cara berjalan bersama ini Gereja akan dapat setia melaksanakan misi yang dipercayakan kepadanya. Maka persekutuan umat beriman diundang untuk berpartisipasi menjalankan misi atau perutusan.

 

Selamat Pesta St. Carolus Borromeus

4 Nov 2022

HUMILITAS – Jalan Kerendahan Hati Santo Carolus Borromeus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_US